Oleh eMKa
Ramadhan tahun ini, tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Menjelang lebaran—H plus sekian—kegiatan reunian seakan menjadi rutinitas. Moment yang menyenangkan sebenarnya, tapi tak begitu denganku.
Sudah tujuh tahun berlalu, tapi ingatanku sepertinya tak mau lepas dari kenangan itu.
Namanya Puji—ah aku lupa nama panjangnya—adalah orang pertama yang selalu menarik perhatianku semenjak aku masuk kelas 1 SMP. Anak itu berwajah manis, berambut panjang, dan selalu tersenyum. Sikapnya yang lugu dan polos membuat aku semakin penasaran dan membuat aku semakin simpatik. Namun sayang, nasib baik mungkin sedang tak berpihak dengannya. Teman-teman sekelas ternyata tak suka padanya, entah apa sebabnya. Aku sendiri sebenarnya kasihan, tapi tak tahu kenapa aku malah turut membencinya. Bukan. Bukan karena aku iri, syirik, atau yang semacamnya. Aku benci atas satu hal darinya, yakni perbuatan mencontek. Hal sepele memang, tapi tidak denganku. Aku adalah orang yang punya prinsip bahwa mencontek adalah perbuatan curang yang paling aku benci, termasuk orang yang melakukannya. Sebenarnya rata-rata teman-temanku mencontek—dan aku benci mereka—tapi ini lain. Aku kecewa dengannya. Aku kecewa dengan orang yang paling aku kagumi. Akan tetapi, belakangan aku menyesali kekecewaan ini. Aku salah. Seandainya kau tahu, sekarang bahkan aku rindu. Aku ingin kau kembali, hadir menghiasi tawa kami.
Ramadhan tahun ini, tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Menjelang lebaran—H plus sekian—kegiatan reunian seakan menjadi rutinitas. Moment yang menyenangkan sebenarnya, tapi tak begitu denganku.
Namanya Puji. Anak seorang petani, dengan hasil tak menentu. Dia selalu berpakaian rapi, meski bajunya terlihat lusuh dan kumal—baju bekas pakai. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik-adiknya masih kecil, mungkin baru kelas 1 SD dan TK nol kecil. Setiap hari Puji selalu membantu orang tuanya berjualan—apapun—untuk sekedar memperoleh sesuap nasi.
Setiap masuk sekolah, Puji selalu menjadi bahan gunjingan teman-teman sekelas. Bukan karena dia adalah anak seorang petani. Bukan. Karena rata-rata kami adalah anak petani. Bukan karena dia memakai pakaian bekas. Bukan. Karena rata-rata kami memakai baju lungsuran kakak, saudara, atau tetangga kami. Tetapi karena ada satu sikap yang membuat teman-temanku tak menyukainya. Entahlah, sampai saat ini aku pun tak tahu. Yang sering aku dengar, teman-temanku selalu berkomentar, “menyebalkan..,”. Tapi dia tetap tersenyum.
Namanya Puji. Dia adalah orang yang selalu terlambat masuk kelas. Pernah oleh guru terkiller, dia di setrap disuruh berdiri di pojok ruangan selama jam pelajaran. Tapi dia tetap tersenyum.
Puji selalu mendapat nilai terendah dari empat puluh siswa di kelasku. Tapi dia tetap tersenyum.
Puji adalah orang yang paling tidak populer di kelas. Berkebalikan denganku. Tapi dia tetap tersenyum.
Apapun itu, kondisi bagaimanapun, Puji selalu tersenyum.
Aku mengaguminya, meski aku benci padanya.
Tak terasa, waktu telah berlalu. Kini aku kelas 2 SMP. Di sekolahku, kelas 2 SMP adalah masa-masa paling seru, karena kelas kita di acak. Kelas kita sekarang, berbeda dengan kelas setahun yang lalu. Teman-teman pun demikian, karena di acak. Tak sadar, ternyata aku tak sekelas lagi dengannya. Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa sekarang dia telah memakai kerudung. Rasa senang dan kagumku seakan memenuhi rongga dadaku, meski kekecewaan waktu itu masih menyisa di kalbuku. Pernah suatu ketika, tak sengaja aku berpapasan dengannya. MasyaAllah, cantik sekali. Bagi seorang yang religius, aku bangga padanya. Kemajuan yang sangat luar biasa, meski aku belum mampu untuk mengikuti jejaknya untuk memakai penutup aurat. Dan perlu kau tahu, di sekolahku yang memakai kerudung waktu itu bisa dihitung dengan jari.
Kelas tiga SMP, menjadi masa yang paling tegang. Masa ini adalah akhir dari cerita SMP, berevolusi dari remaja menjadi dewasa di bangku SMA kelak. Kelas tiga ini, kembali ke kelas semula. Dan akhirnya kini aku bisa sekelas lagi dengannya.
Namanya Puji. Dia adalah seorang gadis remaja yang sangat anggun dengan kerudungnya. Dia adalah yang nomor satu. Dia adalah yang terpopuler di kelas. Dia selalu berpakaian rapi dan terlihat bersih. Dan dia selalu datang paling awal di kelas. Lagi-lagi dia menjadi orang ternama yang menjadi gunjingan teman-temanku setiap saat. Entahlah apa yang menjadi gunjingannya, yang aku dengar, mereka selalu berkomentar, “Puji is the best..,”.
Ya, Puji telah berubah. Semakin hari, semakin luntur rasa benci dan kecewa yang ada dalam hatiku. Aku tersihir akan perubahannya. Tentu, aku sangat senang karena dia adalah sainganku sekarang. Banyak guru-guru kelas tiga yang memujinya. Sungguh, aku tak iri, aku senang dengan kenyataan itu. Dengan begitu, aku akan bersemangat untuk terus belajar, agar aku tetap menjadi nomor satu.
Namanya—siapa lagi kalau bukan Puji. Adalah orang nomor satu, dan selalu berprestasi. Teman-teman satu kelas menyukainya. Hingga suatu hari, kejadian buruk menimpanya. Entahlah, mungkin ini untuk kedua kalinya nasib baik tak berpihak dengannya. Yang kudengar dari gosip, Puji terkena beri-beri. Untuk seumuran kelas tiga SMP, aku baru mendengar penyakit itu. Puji terkena beri-beri di perutnya. Perutnya membuncit, dan semakin hari semakin besar.
Mungkin, tahun ini adalah tahun paling kelabu bagi Puji. Sekarang, Puji selalu datang terlambat. Prestasinya anjlok. Dan yang membuatku gusar, setiap saat Puji selalu menangis di kelas. Saat pelajaran, saat istirahat, dan saat pulang. Kami mengira, Puji menangis karena menahan sakitnya. Kami iba padanya. Hingga suatu saat, dia terlihat sangat syok, dan harus di bawa ke UKS.
Semenjak saat itu, Puji tak lagi muncul di sekolah untuk waktu yang cukup lama, sampai terdengar kabar bahwa Puji telah melahirkan bayi laki-laki. Pamannya yang telah menghamilinya.
Tak kuasa kubendung air mataku. Sampai saat ini, aku bahkan menyesal dulu pernah benci padanya. Aku menyesal, kenapa aku tak berusaha dekat padanya. Dan perlu kau tahu, aku menyesal seumur hidupku, kerana aku tak pernah berbicara satu kali pun dengannya.
Ramadhan tahun ini, tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Menjelang lebaran—H plus sekian—kegiatan reunian seakan menjadi rutinitas. Moment yang menyenangkan sebenarnya, tapi tak begitu denganku.
Depok, 27 Juli 2011
Teruntuk Puji tersayang, maafkan aku, aku berharap suatu saat, kita akan bertemu dalam jalinan ukhuwah..
Kau tahu aku menyesal tak pernah mengenalimu.. dan terima kasih kuucapkan padamu karna kau telah menjadi inspirator untukku.. Alhamdulillah, kini aku telah berhijab.
Semoga kau bahagia, dimanapun kau berada. Allah Bless You
Tidak ada komentar:
Posting Komentar