Kamis, 25 Agustus 2011

Manisnya Buah Kepahitan

Oleh Siska

Pemuda ini telah mewakafkan dirinya di jalan Alloh. Namanya Muhammad Zakariya. Ia telah bertekad mengabdikan diri dalam perjuangan dakwah seolah-olah dakwah telah menjelma dalam darah dan dagingnya.
Zakariya lahir di Bandung. Di Lampung, ia diasuh dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Beranjak dewasa, Zakariya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Pulau Jawa, berpetualang seorang diri tanpa dibarengi keluarga. Sampai akhirnya ia memutuskan menjadi guru dan relawan dakwah -da’i- dengan mengisi pengajian-pengajian di berbagai tempat.
Bahkan ia menjadi da’i sukses, da’i yang disegani oleh masyarakat suatu daerah di Pulau Jawa yang ia dakwahi, tepatnya di daerah Gunung Cupu, Jawa Barat. Sampai-sampai ia berhasil merintis berdirinya sebuah Madrasah Diniyyah Awwaliyyah .
Pemuda itu adalah seseorang yang sangat aku kagumi dan ku hormati. Dialah seorang laki-laki yang menjadi perantara bagiku untuk lahir ke dunia. Tak lain pemuda itu adalah ayahku. Sosok yang menjadi teladan bagiku.
Aku pernah diceritakan oleh ibuku mengenai kisah perjuangannya. Namun, aku benar-benar mendapatkan bukti keotentikan kisah yang dipaparkan ibuku ketika aku menginjak usia 16 tahun, saat itu aku duduk di kelas 2 Madrasah Aliyah (MA), tepat ketika memasuki bulan suci Ramadhan 1426H.
Sungguh Ramadhan kali itu menjadi Ramadhan yang istimewa bagiku, bahkan sampai kini menyisakan kesan mendalam di hatiku. Aku mendapat tugas mengajar di Madrasah Diniyyah Awwaliyyah Al-Azhar, sekolah yang ternyata dirintis oleh ayah dahulu di Gunung Cupu, tepatnya 8 tahun setelah keluarga kami pindah dari daerah tersebut.
“Saya selaku kepala sekolah dan guru-guru senang dan terbuka sekali dengan kedatangan teteh untuk mengajar di sekolah ini,”
“Terima kasih pak, mohon bantuan dan kerja samanya,”
“Insya Alloh kami akan bantu semampu yang kami bisa. Oiya, ada satu hal yang perlu saya sampaikan, sekolah ini dulu dirintis oleh Ustadz Zakariya. Jadi, sudah selayaknya kami membantu anaknya selama menjalankan tugas di sekolah ini,”
Mendengar nama ayahku disebut dan penyebutan aku sebagai anak dari Ustadz Zakariya, hatiku berdesir. Sedikit kaget aku dibuatnya. Sejenak aku sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Ohh…jadi ini sekolah yang dulu dirintis oleh ayah?” kataku dalam hati.
Segera aku tersadar dari lamunanku. Sebelum Pak Ahmad menyadari aku sedang melamun, aku dengan tanggap merespon ucapannya.
“Sekali lagi terima kasih pak, semoga kehadiran saya di sini bisa memberi banyak kemanfaatan dan tidak mengecewakan,”
“Insya Alloh, selamat bertugas. Bu Mimin, tolong antar Teh Aisha ke ruang kelas!”
Itulah penggalan percakapan antara aku dan Pak Ahmad saat akan mulai mengajar. Dari beliaulah aku tahu informasi mengenai sekolah yang didirikan oleh ayah dahulu. Aku sangat menikmati hari-hariku mengajar di sekolah ini. Seolah-olah aku bisa merasakan perjuangan ayahku saat pertama kali merintis sekolah ini. Aku merasa sedang menapaki dan meneruskan langkah-langkah perjuangannya.
Apalagi saat itu telah memasuki permulaan Ramadhan, semangatku untuk mengajar anak-anak di Al-Azhar semakin terpompa. Tak kan ku sia-siakan moment yang berharga ini untuk menghimpun kebaikan sebanyak-banyaknya demi meraih janji Alloh yang amat mulia.
Suatu ketika sepulang mengajar, seperti biasa aku berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan sebelum naik kendaraan umum. Langkah-langkah kakiku terasa begitu ringan. Angin sepoi-sepoi berhembus dengan lembut menerbangkan ujung jilbabku. Terik matahari tak begitu terasa karena terhalang oleh rimbunnya pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Suasana alam yang damai menghadirkan kegembiraan tersendiri di hatiku. Tak terasa sedikitpun letih yang mendera. Rasa haus, lapar dan dahaga bak sirna ditelan keindahan suasana alam. Ramadhan telah memancarkan cahayanya.
Sambil bertafakur, aku melafazkan dzikir-dzikir yang memuji keagungan Rabbul Izzati yang telah menciptakan alam seindah ini. Ketika asyik dengan pikiranku sendiri, aku dikejutkan oleh seorang nenek yang menyapaku secara tiba-tiba.
“Assalamu’alaikum. Punten neng, ari eneng teh tos ngawulang ti Madrasah nya?” nenek itu membuka percakapan denganku.
“Wa’alaikumsalam Warahmatulloh. Muhun ni, abdi teh tos tilu dinten ngawulang di Madrasah. Kunaon kitu ni?” jawabku lembut.
“Nini teh hoyong terang nami eneng teh saha?”
“Oh, nami abdi Aisha Nur Fatimah. Abdi teh ti Madrasah Aliyah Swasta Ciamis, ari nini bade kamana?”
“Neng Aisha? Aisha anakna Ustadz Zakariya??”
“Muhun, nini terang nami bapak?”
“Masya Alloh…Subhanalloh….”
Nenek itu tak meneruskan perkataannya tak pula menjawab pertanyaanku, tiba-tiba ia menangis histeris setelah tahu aku adalah anak Ustadz Zakariya. Ia seperti tak percaya, ia terus saja menangis sambil memeluk dan membelai kepalaku. Aku sendiri bingung dibuatnya. Aku tak tahu penyebab kehisterisannya. Beberapa saat aku biarkan ia menangis.
Setelah ku lihat nenek itu agak tenang, aku berusaha mencari sebab mengapa ia menangis seperti tadi.
“Ni, parantos atuh teu kenging nangis wae. Ayeuna punteun carioskeun, kunaon nini teh nangis?”
“Nini ……..”
Dengan sesegukan nenek menceritakan sebab ia menangis. Ternyata nenek adalah salah satu jamaah yang sering menghadiri pengajian yang diselenggarakan ayah dahulu. Nenek mengaku telah bertahun-tahun mencari tempat tinggal ayah setelah ayah pindah dari daerah ini.
Aku tertegun mendengar penuturan nenek itu. Keberadaan ayah begitu berkesan, sampai-sampai masyakarat daerah Gunung Cupu masih merindukan sosoknya dan selalu mengenangnya. Sebelum pamit, ia meminta alamat tempat tinggal ayah dan mendoakanku dan ayah agar selalu dilindungi Alloh dan dimudahkan segala urusan dalam mengemban risalah dakwah ini. Aku menunduk khusyuk mengaminkan semua doanya dalam hati.
Subhanalloh, lisanku tak henti-hentinya memuji kebesaran Alloh ta’ala atas kejadian yang baru saja aku alami. Semakin terbukalah mata dan hatiku akan perjuangan dakwah ayah yang tak kenal kata menyerah. Ingin rasanya cepat-cepat sampai di rumah untuk bertemu ayah dan mencium tangannya dengan takzim.
Selama dalam perjalanan pulang, cerita yang pernah dituturkan oleh ibuku seolah terekam kembali dalam memori otakku. Dahulu, saat memutuskan menjadi juru dakwah, ayah telah memilih jalannya sendiri. Ayah memilih bergabung dengan sebuah Organisasi Masyarakat (ORMAS) yang berbeda dengan ORMAS yang diikuti keluarga besar ayahnya, yaitu kakekku. Sejak itulah ayah mendidik anak-anaknya dengan didikan ilmu yang ia peroleh dari ORMAS tersebut.
“Menjadi relawan dakwah tidaklah gampang dan mulus-mulus saja jalannya, harus banyak yang dikorbankan,” kata ibuku saat memulai bercerita.
Sebelum keluarga kami tinggal di rumah yang kami huni sekarang, kami sekeluarga tinggal di sebuah daerah yang bisa dikatakan belum tersentuh oleh dakwah. Di sanalah ayah memulai perjuangan menyebarkan risalah dakwah. Ayah mulai menanamkan dan menyuburkan benih-benih keIslaman dengan berbagai cara. Mulai dari mengadakan majelis ta’lim untuk jamaah laki-laki maupun perempuan, membentuk ikatan remaja mesjid hingga mendirikan Madrasah Dinniyyah Awwaliyah. Keadaan di daerah itu pun sedikit demi sedikit mulai terkondisikan, hingga benih-benih keIslaman itu tumbuh menjadi tunas-tunas muda yang bermekaran. Sebuah awal perjuangan yang indah.
Ayah menjadi tokoh yang disegani oleh masyarakat di daerah Gunung Cupu. Masyarakat begitu antusias mengikuti berbagai kegiatan keIslaman yang diadakan oleh ayah. Dari kaum ibu, bapak-bapak, remaja hingga anak-anak semua ikut mengaji.
Seperti yang telah ibu katakan di awal, bahwa jalan dakwah itu tidak mulus, banyak kerikil-kerikil tajam yang bisa menjatuhkan langkah kita. Jalan dakwah itu terjal, banyak hal yang harus dikorbankan demi berlangsungnya risalah dakwah.
Setelah sekian lama berjalan hampir tanpa hambatan, lama kelamaan muncul berbagai permasalahan dan konflik. Ada sekelompok orang yang mulai iri dan tak suka dengan apa yang dilakukan ayah. Mereka iri karena kalah pamor sejak kedatangan ayah. Tak ayal mereka mulai menunjukkan taringnya, menabuh genderang peperangan. Mereka mencoba membuat saingan kegiatan dengan mengadakan pengajian di waktu yang bersamaan dengan pengajian yang diadakan ayah namun dengan tempat yang berbeda.
Mungkin mereka mengira ayah akan marah. Kenyataannya tidak. Ayah justru senang karena ada yang mengikuti jejaknya. Walaupun mereka mengadakan pengajian di waktu yang sengaja berbarengan, jamaah yang datang ke pengajian ayah tetap banyak bahkan banyak jamaah yang berdatangan dari luar kampung. Bila dipandang sebagai peperangan, jelas sekali mereka sudah kalah telak.
Apalagi ketika memasuki bulan suci Ramadhan, mesjid-mesjid selalu disesaki para jamaah sholat tarawih. Berbeda dengan suasana Ramadhan yang dirasakan masyarakat sebelum kedatangan ayah. Menurut penuturan sebagian besar warga, dahulu suasana Ramadhan tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Pada malam hari, mesjid-mesjid yang kini diramaikan kaum lelaki yang beri’tikaf terutama di bulan Ramadhan, dahulu sepi oleh jamaah. Jamaah sholat tarawih paling banyak memenuhi dua hingga tiga shaf saja dari permulaan Ramadhan yang semakin hari semakin berkurang saja jumlahnya mendekati hari raya.
Ayah berinisiatif memberikan jeda waktu antara sholat Isya’ dengan sholat tarawih dengan tausiyah singkat dengan tujuan untuk memotivasi dan memberi suntikan-suntikan semangat kepada para jamaah agar istiqomah berlomba-lomba memupuk kebaikan dan pahala di bulan penuh rahmat dan ampunan. Dengan cara ini, jamaah sholat tarawih dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan.
Ayah semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat. Hal ini semakin membuat orang-orang yang iri kepadanya bertambah dengki. Ketidakberhasilan mereka membuat ‘pengajian saingan’ itu gagal. Namun, mereka belum menyerah sampai disitu saja. Mereka mulai memikirkan cara lain untuk menyingkirkan ayah. Entah fitnah apa yang mereka sebarkan yang jelas akibat perbuatan mereka, ayah mendapat surat peringatan dari Pimpinan ORMAS tempat ayah bernaung yang berisi pelarangan ayah untuk berdakwah.
Tapi ayah tak hilang akal dan patah arang begitu saja mendapat peringatan seperti itu. Pengajian masih berjalan seperti biasanya, ayah memang tidak lagi menjadi penceramah tapi ayah mengundang ustadz dari luar untuk mengisi pengajian maupun tausiyah sebelum tarawih. Dan tak disangka, jamaah pun malah semakin banyak berdatangan.
Hari berganti hari, tahun demi tahun ayah lewati perjuangan dakwah dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Walaupun sepanjang perjalanan banyak sekali kerikil yang sering kali bisa menjatuhkannya. Selama berdakwah di daerah Gunung Cupu, ayah sering mendapat perlakuan yang tidak baik.
Suatu waktu seusai mengimami sholat berjamaah, sudah menjadi kebiasaannya berdzikir dan berdiam diri sejenak di mesjid. Hari itu telah menginjak hari ke-27 Ramadhan. Saat sedang khusyuk dengan lafaz-lafaz yang membasahi lisannya, tiba-tiba seseorang datang dengan amarah yang tak terkendali menyumpah serapah dan mencaci maki ayah sampai-sampai ia masuk ke dalam mesjid dengan tidak menanggalkan alas kakinya. Kontan ayah berhenti sejenak dari dzikirnya dan mengalihkan perhatiannya kepada orang tersebut.
Tak ada gurat marah di wajah ayahku melihat tingkah orang itu. Untuk beberapa lama ayah membiarkannya, ayah ingin mengetahui apa yang ingin disampaikan orang itu kepadanya dan apa yang membuat dia marah kepada ayah. Ayah tak ingin puasanya batal dan tak bernilai di mata Alloh akibat menanggapi kemarahan orang lain dengan hal serupa.
“Sampaikanlah apa saja yang ingin Anda sampaikan kepadaku, aku akan mendengarkannya,” ujar ayah menanggapi kemarahan orang tadi.
Dalam hati, ayah membaca istighfar dan bershalawat atas Nabi Muhammad SAW agar tidak terpancing dalam suasana keruh tersebut. Mendapat respon yang demikian, orang itu akhirnya malu sendiri dan pergi dengan langkah kaki yang berat karena kesal dengan sikap dan perlakuan ayah yang tetap ‘dingin’ dan tidak melawan kemarahannya sedikitpun.
Alloh tidak tidur, Dialah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Alloh tidak diam melihat seorang dari hamba-Nya dianiaya. Sesuai dengan janji-Nya dalam Alquran, “Famayya’mal mitsqaalazarratin khoirrayyarah, wa mayya’mal mitsqaalazarratin syarrayyarah”. Belakangan diketahui orang yang memarahi ayah tersebut sekarang mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya tepat pada hari ke-27 Ramadhan, lima tahun sejak kejadian itu. Itulah balasan yang diberikan Alloh atas perbuatannya sendiri, ia amat menyesali perbuatannya. Penyesalan itu memang selalu berada di akhir, ia bertaubat kepada Alloh dan meminta maaf kepada ayah atas perbuatannya dahulu.
Tak hanya di mesjid, di rumah pun ayah pernah mendapatkan perlakuan serupa dari orang-orang yang iri kepadanya. Seseorang datang bertamu ke rumah. Bukannya menghormati pemilik rumah, tamu itu malah bersikap tidak sopan. Ia dengan berani mencaci maki dan memarahi ayah sambil menggebrak meja yang berada di hadapan ayah. Sungguh tidak beretika dan tidak memiliki tata krama tamu tersebut. Tapi sekali lagi ayah tak membalas kemarahannya dengan perlakuan serupa. Dengan tenang ayah menanggapi tamu tersebut agar mau membicarakan segala sesuatunya dengan kepala dingin melalui diskusi dan musyawarah.
Namun, karena kesombongan dan kedengkian telah menutupi hati orang-orang iri tersebut, permintaan ayah untuk duduk bersama, berdiskusi dan bermusyawarah tak digubris sedikitpun oleh mereka. Tetap saja mereka mengganggap diri mereka yang paling benar dan selalu menyalahkan atas apa yang dilakukan ayah selama ini. Mereka beranggapan perbuatan ayah itu salah karena telah berdakwah di ladang dakwah orang lain.
Bila teringat kejadian pada masa itu, terngiang-ngiang selalu firman Alloh, “Wa man ahsanu qoulan mimman da’aa ilallohi wa ‘amila shalihan wa qaala innani minal muslimin”. Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Alloh dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)”. Mengapa ayah selalu dianggap salah oleh orang-orang itu?
Padahal jika hati nurani mereka ditanya, “salahkah seseorang berjuang mati-matian demi menegakkan kalimat Alloh di tempat yang bukan merupakan tempat dimana ia berasal?”, pastilah mereka akan menjawab “tidak ada yang salah, justru dakwah harus terus dilakukan dimanapun, kapanpun tanpa memandang apakah daerah itu tempat asalnya atau bukan sehingga dakwah akan menyebar luas ke seluruh penjuru dunia”.
Melihat keadaan masyarakat daerah Gunung Cupu sudah mulai terkondisikan dan ayah merasa keIslaman di sana sudah semakin kokoh, akhirnya ayah memutuskan untuk pindah dari daerah tersebut. Ayah juga ingin memberi kesempatan pada orang-orang yang iri kepadanya untuk mengembangkan dakwah di daerah tersebut. Ayah sama sekali tak ingin memiliki musuh.
Rencana kepindahan kami sekeluarga memang dirahasiakan. Karena jika dari awal sudah dipublikasikan, pastilah banyak orang yang mencegahnya. Mengenai perihal kepindahan kami, ayah mengumumkannya seusai pengajian rutin yang diadakan ayah sepekan sekali. Pengajian itu menjadi pengajian terakhir bagi ayah bersama masyarakat Gunung Cupu. Pengajian itu menjadi perpisahan antara ayah dan para jamaah. Mendengar penuturan ayah, seperti dikomandoi tangis para jamaah pecah seketika. Para jamaah tidak setuju dengan keputusan ayah. Majelis ta’limpun menjelma menjadi lautan tangis dan air mata karena kesedihan yang tak terbendung.
Tetapi ayah tetap menjalankan rencananya. Kami sekeluargapun pindah dari daerah itu. Kami berhijrah dari daerah itu tepat dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1418H. Doa dan kesedihan mengiringi kepergian kami. Sampai akhirnya aku dan keluargaku tinggal di kediaman yang baru hingga saat ini. Tak terasa Ramadhan akan segera datang, sudah 14 tahun kami meninggalkan Gunung Cupu dan masyarakatnya.
Kini, keluargaku tinggal dengan tenang di daerah kota, cukup jauh dari Gunung Cupu, 5 km sebelah timur kota Tasikmalaya. Tidak lagi ku lihat raut kesedihan pada wajah ibuku seperti yang dahulu selalu menghiasi wajah tirusnya. Dahulu ketika menemani ayah berdakwah di Gunung Cupu, hampir setiap hari ibu meneteskan air mata menyaksikan betapa kerasnya perjuangan ayah ketika itu. Tubuh ibuku menyusut karena tekanan dan beban perasaan yang sewaktu-waktu melandanya.
Sungguh benar apa yang difirmankan Alloh dalam Alquran, “Wal takun minkum ummatuyyad’uuna ilal khoiri wa ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna ‘anilmunkari wa ulaaika humulmuflihuun”. Semoga kami termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung sebagaimana yang disebut dalam ayat tersebut.
Tak terasa, perjalananku menuju rumah terasa singkat sekali. Lamunanku pun berakhir setelah aku sadar sebentar lagi aku harus turun dari angkutan umum yang aku tumpangi.
Hari pun menjelang senja, sebentar lagi waktu yang paling ditunggu orang-orang yang berpuasa segera datang. Aku bergegas membayar ongkos angkut dan langsung berjalan cepat-cepat menyusuri gang menuju rumah untuk membantu ibu menyiapkan segala sesuatu untuk berbuka puasa.
Ingin rasanya mempercepat langkah untuk segera sampai ke rumah dan bertemu ibu dan ayah, mencium tangan dan memeluk keduanya lalu berbisik “Ibu, ayah, aku sayang sekali kepada ibu dan ayah. Semoga ibu dan ayah selalu mendapatkan kasih sayang dan ampunan Alloh Azza wa Jalla.” Aku mengucapkan aamiin berkali-kali dalam hati, mengharapkan janji Alloh yang mengabulkan doa hamba-Nya yang sedang dalam keadaan berpuasa. Tak terasa pipiku menghangat, ada bulir-bulir bening menetes di sana. Tanpa ku ketahui, mungkin bait-bait doaku telah terbang melesat bersama tiupan angin senja menuju langit ke sisi Alloh, Rabb sekalian alam…

Secercah Cahaya

Oleh eMKa

Ramadhan tahun ini, tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Menjelang lebaran—H plus sekian—kegiatan reunian seakan menjadi rutinitas. Moment yang menyenangkan sebenarnya, tapi tak begitu denganku.
Sudah tujuh tahun berlalu, tapi ingatanku sepertinya tak mau lepas dari kenangan itu.
Namanya Puji—ah aku lupa nama panjangnya—adalah orang pertama yang selalu menarik perhatianku semenjak aku masuk kelas 1 SMP. Anak itu berwajah manis, berambut panjang, dan selalu tersenyum. Sikapnya yang lugu dan polos membuat aku semakin penasaran dan membuat aku semakin simpatik. Namun sayang, nasib baik mungkin sedang tak berpihak dengannya. Teman-teman sekelas ternyata tak suka padanya, entah apa sebabnya. Aku sendiri sebenarnya kasihan, tapi tak tahu kenapa aku malah turut membencinya. Bukan. Bukan karena aku iri, syirik, atau yang semacamnya. Aku benci atas satu hal darinya, yakni perbuatan mencontek. Hal sepele memang, tapi tidak denganku. Aku adalah orang yang punya prinsip bahwa mencontek adalah perbuatan curang yang paling aku benci, termasuk orang yang melakukannya. Sebenarnya rata-rata teman-temanku mencontek—dan aku benci mereka—tapi ini lain. Aku kecewa dengannya. Aku kecewa dengan orang yang paling aku kagumi. Akan tetapi, belakangan aku menyesali kekecewaan ini. Aku salah. Seandainya kau tahu, sekarang bahkan aku rindu. Aku ingin kau kembali, hadir menghiasi tawa kami.
Ramadhan tahun ini, tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Menjelang lebaran—H plus sekian—kegiatan reunian seakan menjadi rutinitas. Moment yang menyenangkan sebenarnya, tapi tak begitu denganku.
Namanya Puji. Anak seorang petani, dengan hasil tak menentu. Dia selalu berpakaian rapi, meski bajunya terlihat lusuh dan kumal—baju bekas pakai. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik-adiknya masih kecil, mungkin baru kelas 1 SD dan TK nol kecil. Setiap hari Puji selalu membantu orang tuanya berjualan—apapun—untuk sekedar memperoleh sesuap nasi.
Setiap masuk sekolah, Puji selalu menjadi bahan gunjingan teman-teman sekelas. Bukan karena dia adalah anak seorang petani. Bukan. Karena rata-rata kami adalah anak petani. Bukan karena dia memakai pakaian bekas. Bukan. Karena rata-rata kami memakai baju lungsuran kakak, saudara, atau tetangga kami. Tetapi karena ada satu sikap yang membuat teman-temanku tak menyukainya. Entahlah, sampai saat ini aku pun tak tahu. Yang sering aku dengar, teman-temanku selalu berkomentar, “menyebalkan..,”. Tapi dia tetap tersenyum.
Namanya Puji. Dia adalah orang yang selalu terlambat masuk kelas. Pernah oleh guru terkiller, dia di setrap disuruh berdiri di pojok ruangan selama jam pelajaran. Tapi dia tetap tersenyum.
Puji selalu mendapat nilai terendah dari empat puluh siswa di kelasku. Tapi dia tetap tersenyum.
Puji adalah orang yang paling tidak populer di kelas. Berkebalikan denganku. Tapi dia tetap tersenyum.
Apapun itu, kondisi bagaimanapun, Puji selalu tersenyum.
Aku mengaguminya, meski aku benci padanya.
Tak terasa, waktu telah berlalu. Kini aku kelas 2 SMP. Di sekolahku, kelas 2 SMP adalah masa-masa paling seru, karena kelas kita di acak. Kelas kita sekarang, berbeda dengan kelas setahun yang lalu. Teman-teman pun demikian, karena di acak. Tak sadar, ternyata aku tak sekelas lagi dengannya. Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa sekarang dia telah memakai kerudung. Rasa senang dan kagumku seakan memenuhi rongga dadaku, meski kekecewaan waktu itu masih menyisa di kalbuku. Pernah suatu ketika, tak sengaja aku berpapasan dengannya. MasyaAllah, cantik sekali. Bagi seorang yang religius, aku bangga padanya. Kemajuan yang sangat luar biasa, meski aku belum mampu untuk mengikuti jejaknya untuk memakai penutup aurat. Dan perlu kau tahu, di sekolahku yang memakai kerudung waktu itu bisa dihitung dengan jari.
Kelas tiga SMP, menjadi masa yang paling tegang. Masa ini adalah akhir dari cerita SMP, berevolusi dari remaja menjadi dewasa di bangku SMA kelak. Kelas tiga ini, kembali ke kelas semula. Dan akhirnya kini aku bisa sekelas lagi dengannya.
Namanya Puji. Dia adalah seorang gadis remaja yang sangat anggun dengan kerudungnya. Dia adalah yang nomor satu. Dia adalah yang terpopuler di kelas. Dia selalu berpakaian rapi dan terlihat bersih. Dan dia selalu datang paling awal di kelas. Lagi-lagi dia menjadi orang ternama yang menjadi gunjingan teman-temanku setiap saat. Entahlah apa yang menjadi gunjingannya, yang aku dengar, mereka selalu berkomentar, “Puji is the best..,”.
Ya, Puji telah berubah. Semakin hari, semakin luntur rasa benci dan kecewa yang ada dalam hatiku. Aku tersihir akan perubahannya. Tentu, aku sangat senang karena dia adalah sainganku sekarang. Banyak guru-guru kelas tiga yang memujinya. Sungguh, aku tak iri, aku senang dengan kenyataan itu. Dengan begitu, aku akan bersemangat untuk terus belajar, agar aku tetap menjadi nomor satu.
Namanya—siapa lagi kalau bukan Puji. Adalah orang nomor satu, dan selalu berprestasi. Teman-teman satu kelas menyukainya. Hingga suatu hari, kejadian buruk menimpanya. Entahlah, mungkin ini untuk kedua kalinya nasib baik tak berpihak dengannya. Yang kudengar dari gosip, Puji terkena beri-beri. Untuk seumuran kelas tiga SMP, aku baru mendengar penyakit itu. Puji terkena beri-beri di perutnya. Perutnya membuncit, dan semakin hari semakin besar.
Mungkin, tahun ini adalah tahun paling kelabu bagi Puji. Sekarang, Puji selalu datang terlambat. Prestasinya anjlok. Dan yang membuatku gusar, setiap saat Puji selalu menangis di kelas. Saat pelajaran, saat istirahat, dan saat pulang. Kami mengira, Puji menangis karena menahan sakitnya. Kami iba padanya. Hingga suatu saat, dia terlihat sangat syok, dan harus di bawa ke UKS.
Semenjak saat itu, Puji tak lagi muncul di sekolah untuk waktu yang cukup lama, sampai terdengar kabar bahwa Puji telah melahirkan bayi laki-laki. Pamannya yang telah menghamilinya.
Tak kuasa kubendung air mataku. Sampai saat ini, aku bahkan menyesal dulu pernah benci padanya. Aku menyesal, kenapa aku tak berusaha dekat padanya. Dan perlu kau tahu, aku menyesal seumur hidupku, kerana aku tak pernah berbicara satu kali pun dengannya.
Ramadhan tahun ini, tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Menjelang lebaran—H plus sekian—kegiatan reunian seakan menjadi rutinitas. Moment yang menyenangkan sebenarnya, tapi tak begitu denganku.
Depok, 27 Juli 2011
Teruntuk Puji tersayang, maafkan aku, aku berharap suatu saat, kita akan bertemu dalam jalinan ukhuwah..
Kau tahu aku menyesal tak pernah mengenalimu.. dan terima kasih kuucapkan padamu karna kau telah menjadi inspirator untukku.. Alhamdulillah, kini aku telah berhijab.
Semoga kau bahagia, dimanapun kau berada. Allah Bless You

With Love

oleh eMKa

Memasuki musim ketigo , udara terasa dingin, daun-daun kering, dan tanah ladang mulai merekah. Cuaca di musim ini seakan mendukung hatiku yang sedang kelabu. Tak terasa bulir airmataku menetes, perlahan, dan menjadikannya serpihan permata ketika sampai di tanah tempat aku berdiri. Bayangan itu berkelebat lagi dalam benakku.
“Mak, Aku tresna karo kang Alex..,”
“Tresnomu iku ra bener, bocah koyo kuwi kok ditresnoni! Bocah ra bener, ndhugal, tukang metengi anake wong! Mbok yo wis karo mas Muis kae,”
“Mak, aku ora tresno karo mas Muis. Aku tresnone karo kang Alex, Mak. Kang Alex iku ra koyo sik mamak bayangke, kang Alex iku wong apik. Konco-koncone sik njalari elek Mak,”
“Sakkarepmu, pokoke kowe kudu trimo lamarane mas Muis, titik.”
Setelah mendengar keputusan mamak secara sepihak, aku kalap, dalam dada terasa sesak. Setelah mamak keluar kamar, tiba-tiba diluar kendaliku, tanganku meraih tongkat besi yang ada didekat pintu.
Pyaaaaaaaaaaaarrrr
Aaaaaaaaaaaaaaagh
Sungguh, aku kalap.
Sungguh. Aku sangat bersyukur, pentunganku tidak kena mamak. Pentunganku meleset mengenai kaca lemari di samping mamak.
Mendengar keributan, bapak segera membekukku, waktu itu aku masih kalap. Aku seperti kesetanan. Kesadaranku berangsur pulih ketika adik ragilku yang masih duduk di kelas 6 SD merengek ketakutan melihat kejadian ini.
“Mak, kenopo si? Mengko nek koyo kene terus aku ra sido mangkat..,”
“Wis rapopo, kono mangkat,”
Adikku langsung berangkat ketika disuruh berangkat mamak. Aku tidak tega sebenarnya, kebetulan hari itu adikku sedang Ujian Nasional (UN). Entah bagaimana nanti dia mengerjakan soal-soal setelah melihat kejadian itu. Setelah adikku berangkat, mamak langsung mengasingkan diri ke tetangga. Bapak masih berusaha meredakan amarahku.
“Shinta, kamu menangis, kenapa?”, tanya seorang pria sambil memberikan air putih padaku. Dia suamiku.
Bukan. Bukan mas Muis dan bukan Kang Alex.
Setelah perseteruan kecil itu, aku memutuskan tidak lagi berhubungan dengan kang Alex. Keesokan harinya, mas Muis datang bersama ayahnya. Aku benar-benar ketakutan..
“Shin, mamak nyuwun ngapuro atas kedadean wingi, saiki metu dhiluk yo temoni mas Muis..,” pelan mamak bicara di balik pintu kamar yang sengaja aku kunci.
Aku terdiam. Lidahku seakan kelu untuk menjawab mamak. Yang terdengar hanyalah sesegukan, ya, aku menangis tergugu. Akankah cinta masih bisa diupayakan?
Entah sudah berapa lama mas Muis menungguku keluar kamar. Setelah aku tak kunjung keluar hingga menjelang sore, mas Muis dan pulang. Kasihan mas Muis. Mas Muis sangat mencintaiku. Tapi aku malah sering membuat dia sakit hati. Jika dibandingkan dengan kang Alex, mas Muis jauh lebih banyak kelebihannya. Dia baik, sayang sama adik-adikku, sholeh, anak orang kaya pula. Tampangnya pun lumayan ganteng. Banyak gadis yang tertarik padanya. Tapi entah mengapa aku lebih memilih kang Alex daripada mas Muis. Hatiku lebih condong kepada kang Alex, yang di masyarakat terkenal dengan preman kampung.
Setelah lamaran mas Muis aku tolak secara halus. Mas Muis tidak lagi menampakkan diri. Tidak pernah main ke rumah maupun ke tetanggaku. Mas Muis, maafkan aku. Aku tahu, pasti rasanya sakit sekali.
Bukan. Bukan mas Muis dan bukan Kang Alex.
Yang berdiri disampingku ini adalah seorang lelaki yang jauh dari tampan, jauh dari mapan. Serba kurang dari segala hal. Jika mengingat perseteruan kecil dulu, aku ingin menangis. Seandainya dulu aku manut sama mamak, mungkin sekarang aku akan berada di keluarga yang sangat sayang padaku. Dan hidup berkecukupan. Seandainya dulu aku menerima lamaran mas Muis.
Ah mas Muis, maafkan aku. Semoga sekarang kau bahagia dengan istri dan anak-anakmu. Mas Muis kini sudah punya dua anak yang lucu-lucu. Aku pun demikian. Aku punya satu anak dari suamiku. Meskipun kami serba kekurangan. Tapi aku berusaha untuk merasa bahagia. Dari situ, sekarang aku yakin bahwa orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Apapun pilihan orang tua, pastilah yang terbaik bagi kita meski awalnya menyakitkan.

Kutoarjo, 4 Agustus 2011