oleh eMKa
Memasuki musim ketigo , udara terasa dingin, daun-daun kering, dan tanah ladang mulai merekah. Cuaca di musim ini seakan mendukung hatiku yang sedang kelabu. Tak terasa bulir airmataku menetes, perlahan, dan menjadikannya serpihan permata ketika sampai di tanah tempat aku berdiri. Bayangan itu berkelebat lagi dalam benakku.
“Mak, Aku tresna karo kang Alex..,”
“Tresnomu iku ra bener, bocah koyo kuwi kok ditresnoni! Bocah ra bener, ndhugal, tukang metengi anake wong! Mbok yo wis karo mas Muis kae,”
“Mak, aku ora tresno karo mas Muis. Aku tresnone karo kang Alex, Mak. Kang Alex iku ra koyo sik mamak bayangke, kang Alex iku wong apik. Konco-koncone sik njalari elek Mak,”
“Sakkarepmu, pokoke kowe kudu trimo lamarane mas Muis, titik.”
Setelah mendengar keputusan mamak secara sepihak, aku kalap, dalam dada terasa sesak. Setelah mamak keluar kamar, tiba-tiba diluar kendaliku, tanganku meraih tongkat besi yang ada didekat pintu.
Pyaaaaaaaaaaaarrrr
Aaaaaaaaaaaaaaagh
Sungguh, aku kalap.
Sungguh. Aku sangat bersyukur, pentunganku tidak kena mamak. Pentunganku meleset mengenai kaca lemari di samping mamak.
Mendengar keributan, bapak segera membekukku, waktu itu aku masih kalap. Aku seperti kesetanan. Kesadaranku berangsur pulih ketika adik ragilku yang masih duduk di kelas 6 SD merengek ketakutan melihat kejadian ini.
“Mak, kenopo si? Mengko nek koyo kene terus aku ra sido mangkat..,”
“Wis rapopo, kono mangkat,”
Adikku langsung berangkat ketika disuruh berangkat mamak. Aku tidak tega sebenarnya, kebetulan hari itu adikku sedang Ujian Nasional (UN). Entah bagaimana nanti dia mengerjakan soal-soal setelah melihat kejadian itu. Setelah adikku berangkat, mamak langsung mengasingkan diri ke tetangga. Bapak masih berusaha meredakan amarahku.
“Shinta, kamu menangis, kenapa?”, tanya seorang pria sambil memberikan air putih padaku. Dia suamiku.
Bukan. Bukan mas Muis dan bukan Kang Alex.
Setelah perseteruan kecil itu, aku memutuskan tidak lagi berhubungan dengan kang Alex. Keesokan harinya, mas Muis datang bersama ayahnya. Aku benar-benar ketakutan..
“Shin, mamak nyuwun ngapuro atas kedadean wingi, saiki metu dhiluk yo temoni mas Muis..,” pelan mamak bicara di balik pintu kamar yang sengaja aku kunci.
Aku terdiam. Lidahku seakan kelu untuk menjawab mamak. Yang terdengar hanyalah sesegukan, ya, aku menangis tergugu. Akankah cinta masih bisa diupayakan?
Entah sudah berapa lama mas Muis menungguku keluar kamar. Setelah aku tak kunjung keluar hingga menjelang sore, mas Muis dan pulang. Kasihan mas Muis. Mas Muis sangat mencintaiku. Tapi aku malah sering membuat dia sakit hati. Jika dibandingkan dengan kang Alex, mas Muis jauh lebih banyak kelebihannya. Dia baik, sayang sama adik-adikku, sholeh, anak orang kaya pula. Tampangnya pun lumayan ganteng. Banyak gadis yang tertarik padanya. Tapi entah mengapa aku lebih memilih kang Alex daripada mas Muis. Hatiku lebih condong kepada kang Alex, yang di masyarakat terkenal dengan preman kampung.
Setelah lamaran mas Muis aku tolak secara halus. Mas Muis tidak lagi menampakkan diri. Tidak pernah main ke rumah maupun ke tetanggaku. Mas Muis, maafkan aku. Aku tahu, pasti rasanya sakit sekali.
Bukan. Bukan mas Muis dan bukan Kang Alex.
Yang berdiri disampingku ini adalah seorang lelaki yang jauh dari tampan, jauh dari mapan. Serba kurang dari segala hal. Jika mengingat perseteruan kecil dulu, aku ingin menangis. Seandainya dulu aku manut sama mamak, mungkin sekarang aku akan berada di keluarga yang sangat sayang padaku. Dan hidup berkecukupan. Seandainya dulu aku menerima lamaran mas Muis.
Ah mas Muis, maafkan aku. Semoga sekarang kau bahagia dengan istri dan anak-anakmu. Mas Muis kini sudah punya dua anak yang lucu-lucu. Aku pun demikian. Aku punya satu anak dari suamiku. Meskipun kami serba kekurangan. Tapi aku berusaha untuk merasa bahagia. Dari situ, sekarang aku yakin bahwa orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Apapun pilihan orang tua, pastilah yang terbaik bagi kita meski awalnya menyakitkan.
Kutoarjo, 4 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar