Minggu, 02 Mei 2010

SISTEM PERIBADATAN DALAM ISLAM

Makna Ibadah
Secara bahasa Ibadah berarti merendahkan diri, tunduk dan menghinakan diri. Di dalam kata, ba’irun mu’abadun atau thariqun mu’abbadun, apabila jalan atau onta tersebut rendah, lembut dan mudah ditundukkan.
Menurut Istilah syara’, ibadah adalah puncak kecintaan serta puncak kerendahan diri. Sebagaimana didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rh, Ibadah adalah nama yang meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridlai oleh Allah; baik beurpa perkataan, perbuatan bathin dan perbuatan dhahir.
dari definisi di atas, makna ibadah sangat luas, tidak seperti yang disangkakan oleh kebanyakan manusia. Pada umumnya manusia menganggap ibadah itu terbatas pada aktifitas sujud, ruku’ dan shalat. Bisa jadi dalam hal-hal di luar hal tersebut mereka beribadah kepada selain Allah, tetapi mereka tidak menyadari. Akibatnya mereka terjerumus ke dalam kesyirikan yang tidak akan diampuni oleh Allah, apabila ia mati dalam keadaan demikian
Firman Allah ;
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِه وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya
Ibadah kadang-kadang berarti tanasuk dan ta’alluh, seperti sujud, ruku’ dan shalat. Do’a juga termasuk ke dalam ibadah. Dan juga termasuk ke dalam apa yang dinamakan do’a adalah istighatsah kepada makhluk yang tidak memiliki kemampuan apa-apa melainkan Allah semata. Itu termasuk ke dalam makna ibadah yang tak boleh dipersembahkan kepada selain Allah
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنُّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
Demikian juga dengan menyebelih, nadzar dan yang lainnya, semuanya adalah ibadah yang harus dipersembahkan kepada Allah semata, tidak boleh diberikan kepada yang lain.
Ibadah kepada syaithan yang disebutkan di dalam ayat tersebut maksudnya adalah ketaatan kepada syetan. Demikian juga firman Allah tentang Fir’aun dan para pembesar kerajaannya
فَقَالُواْ أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَــابِدُونَ
Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israel) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?”
Maksud ibadah di dalam ayat ini adalah ketaatan dan ketundukan secara mutlak dalam segala hal. Ini tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah saja. Dan jika dilakukan kepada selain Allah, maka berlaku salah satu dari dua kemungkinan
1. Ketaatan di dalam bermaksiat kepada Allah (tanpa penghalalan terhadap tindakan maksiat tersebut). Sebabaimana orang yang tertipu oleh rayuan syetan untuk berzina, lalu ia mentaatinya. Atau atasannya memerintahkan untuk meminum khamr, lalu ia mentaatinya, atau pimpinannya memerintahkan untuk mencukur jenggot lalu ia mengikutinya, dengan tetap ada keyakinan di dalam dirinya bahwa semua tindakan tersebut haram. Ketaatan ini pun termasuk ke dalam cakupan makna ibadah. Pelakunya bisa dinamakan penyembah syetan, maksudnya adalah pengikut syetan. Tetapi ia tidak sampai menjadi kufur, kecuali jika ia menghalalkan kemaksiatan. Meskipun demikian tindakan ini tetap haram, sebagaimana dipesankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
لا طاعة لمخلوق في معصية الله، إنما الطاعة في المعروف
Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam kemaksiatan kepada Allah, ketaatan itu hanya ada dalam hal yang ma’ruf (sesuai syari’at Allah) (HR Muslim)
2. Ketaatan dalam hukum dan perundang-undangan, atau (dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu). Ini tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Jika ketaatan seperti ini dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya terjerumus ke dalam syirik akbar. Sebab hukum dan perundang-undangan tidak selayaknya ada kecuali bagi Allah, yang Maha Esa dan Maha Menguasai. Firman Allah
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah
Hukum dan perundang-undangan adalah salah satu karakteristik uluhiyyah yang paling khusus. Karena itu di antara makna ilah (tuhan) adalah “pembuat syari’at (aturan)”. Di antara asma’ul husna adalah al-Hukmu dan al-Hakim. Karena itulah, orang yang membuat syari’at (undang-undang) atau mewajibkan perundang-undangan dan hukum selain hukum Allah berarti ia telah mengaku pada dirinya terdapat salah satu sifat uluhiyyah (ketuhanan).
Ketaatan kepada wali-wali (para pendukung syetan) di sini dianggap sebagai syirik dan dianggap sebagai ibadah kepada selain Allah, sebab ketaatan itu berupa ketaatan dalam hokum dan perundang-undangan, atau ketaatan dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, yang tidak semestiya dilakukan kecuali kepada Allah semata.

Kedudukan Ibadah

Syumuliyah Ibadah
Syumul berarti menyeluruh, meliputi semua zaman, kehidupan dan eksistensi (keberadaan manusia). Syumul Islam itu tercermin dalam ibadahnya sebagaimana tercermin dalam akidahnya. Jadi, ibadah dalam Islam itu melingkupi seluruh keberadaan manusia dan jangkauannya menyentuh semua aspek kehidupan, tidak hanya berupa ibadah sholat, zakat, puasa dan haji.
Jangkauan Syumul dalam Risalah Islam : Risalah semua zaman Islam adalah risalah untuk semua zaman dan generasi Contoh : setiap nabi diutus dengan membawa risalah (misi) islam, menyerukan tauhid dan menjauhi thaghut (setan) “ Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),’sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thoghut’.” (terj. Q.s. An Nahl : 36)
Prinsip dasar beribadah dan karakteristiknya
Adapun syarat diterimanya ibadah adalah;
1- Iman
2- Ikhlas
3- Itiba’
Ibadah seorang hamba tidak akan diterima kecuali dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas
Ibadah tanpa iman tidak akan diterima, berdasarkan firman Allah
Agar Ibadah seperti yang dituntut oleh Allah kepada kita, maka ibadah itu harus memenuhi tiga hal;
 kecintaan (hubb)
Kita beribadah kepada Allah harus dilandasi dengan rasa cinta kepadaNya. Allah telah memuji hambanya yang mencintaiNya, di dalam firmanNya
وَالذين آمنوا أشدُّ حُباً للَّه
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah (al-Baqarah;165)

 rasa takut (khauf)
Demikian juga, kita harus beribadah kepada Allah dengan disertai rasa takut kepadaNya dan takut kepada adzabNya. Firman Allah
فلا تخافوهم وخافونِ إن كنتم مؤمنين
karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Ali Imran:175).
يَدعُون ربَّهم خَوْفاً وطَمَعاً
Sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap. (32:16)

 pengharapan (raja’)
. Demikian juga, ibadah kepada Allah harus disertai dengan perasaan mengharap rahmat dan ampunan Allah, sebagaimana firman Allah
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Dan mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (al-Isra’:57)


Bid’ah dalam Ibadah

Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa`di rahimahullah memaparkan tentang bid`ah : "Bid`ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah apa yang datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana termaktub dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Dengan demikian apa yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan As Sunnah itulah agama dan apa yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah berarti perkara itu adalah bid`ah. Ini merupakan defenisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid`ah. Sementara bid`ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua :

1. Bid`ah I'tiqad (bid`ah yang bersangkutan dengan keyakinan)

Bid`ah ini juga diistilahkan bid`ah qauliyah (bid`ah dalam hal pendapat) dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dalam kitab sunan :

"Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan".
Para shahabat bertanya : "Siapa golongan yang satu itu wahai Rasulullah ?.
Beliau menjawab : "Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku".

Yang selamat dari perbuatan bid`ah ini hanyalah ahlus sunnah wal jama`ah yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan apa yang dipegangi oleh para shahabat radliallahu anhum dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid , masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman dan selainnya.

Sementara yang selain mereka dari kelompok sempalan (yang menyempal/keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu`tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul bid`ah dalam perkara i`tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya ahlus sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan mereka.

2. Bid`ah Amaliyah (bid`ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)
Bid`ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah ta`ala) baik perintah itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid`ah amaliyah dan masuk dalam sabda nabi shallallahu alaihi wasallam :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak".
Karena itulah termasuk kaidah yang dipegangi oleh para imam termasuk Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau menyatakan :
"Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)"

Yakni tidak boleh menetapkan/mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan mereka menyatakan pula :
"Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang)"

Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan sesuatu dari muamalah dan adat tersebut kecuali apa yang Allah ta`ala dan rasul-Nya haramkan. Sehingga termasuk dari kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah sebagai bid`ah yang tidak boleh dikerjakan, padahal perkaranya sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan) maka yang menghukumi adat itu dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid`ah (mubtadi). Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dan adat itu sendiri terbagi tiga :
Pertama : yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah).
Kedua : yang membantu/mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.
Ketiga : adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang diharamkan) maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan)

1 komentar: